Kian
maraknya kejahatan yang terjadi di jaman modern seperti sekarang, tindakan
kejahatan juga semakin beragam salah satunya kejahatan di dunia maya atau yang
biasa dikenal dengan Cyber Crimes. Aksi
kejahatan tersebut harus disikapi dengan cermat untuk meminimalisir kejahatan
cyber crime tersebut. Karena pada dasarnya kejahatan ini sangat merugikan dan
dapat di kenakan sanksi dan ada berbagai banyak tindak pidana serta pasal pasal
yang mengenai kejahatan cyber crimes salah satunya yang sering dilaporkan ialah
mengenai akses ilegal (Pasal 30 UU ITE),
perubahan data (Pasal 32 UU ITE), berita bohong yang merugikan konsumen (Pasal
28 ayat (1) UU ITE), serta konten yang melanggar kesusilaan (Pasal 27 ayat (1)
UU ITE). Dalam banyak laporan, Pasal 30 UU ITE sering dibarengi dengan Pasal 32
UU ITE, maksudnya pelaku melakukan akses ilegal dan kemudian melakukan
perubahan data.
ada beberapa pencegahan atau pendekatan guna mencegah terjadi kejahatan cyber crimes ini
Pendekatan Pertama
Dalam mempertahankan keamanan di dunia siber terdapat tiga pendekatan yakni, pertama pendekatan sosial budaya dalam arti memberikan pemahaman dari sudut sosial budaya agar masyarakat memahami secara benar tentang kepudilian akan keamanan informasi khusunya fenomena dalam dunia siber yang bersifat global dan lintas batas (borderless).
Pendekatan Kedua
Pendekatan tata kelola dan teknologi keamanan informasi, yang dalam hal ini pendekatam dilakukan melalui sistem manajemen keamanan informasi serta melalui pendekatan teknologi yang cermat dan akurat serta up to date agar dapat menutupi setiap lubang atau celah yang dapat digunakan untuk melakukan penyerangan-penyeranga dalam dunia siber.
Pendekatan Ketiga
pendekatan hukum yaitu tersedianya instrumen hukum positif nasional yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi seperti UU no.11 Tahun 2008 tentang ITE dan PP No.82 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan sstem dan transaksi Elektronika(PSTE) yang salah satunya adalah kebijakan dan regulasi di bidang keamanan informasi.
Berikut adalah artikel tentang
penyalahgunaan telekomunikasi rugikan operator sebesar 1,2Triliun:
Jakarta –
Kemkominfo bersama Polda Metro Jaya dan operator telekomunikasi tengah
menertibkan terminasi trafik internasional. Penyalahgunaan ini berpotensi
menimbulkan kerugian industri telekomunikasi sekitar Rp 1,26 triliun per tahun.
Kepala
Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Ismail Cawidu mengatakan,
penertiban ini dilakukan Tim Penertiban Direktorat Pengendalian Pos dan
Informatika, Direktorat Jenderal Peyelenggaraan Pos dan Informatika, Kemkominfo
bersama PPNS Balmon Kelas I Jakarta, PPNS Balmon Kelas II Bandung,
Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dan operator telekomunikasi.“Tujuannya
adalah menciptakan ketertiban oleh Penyelenggaraan Telekomunikasi, menjamin
kepastian hukum dan kepastian berusaha dibidang Telekomunikasi, serta menjamin
kualitas telekomunikasi kepada masyarakat,” kata Ismail Cawidu dalam keterangan
resminya, Senin (11/1). Definisi
Penyalahgunaan Trafik Terminasi Internasional adalah penyaluran trafik dari
luar negeri dengan menggunakan jalur dan perangkat tertentu secara tidak sah.
Penyalahgunaan ini berpotensi menimbulkan kerugian industri telekomunikasi
sekitar Rp 105 miliar per bulan atau Rp 1,26 triliun per tahun. Sejak
bulan Desember 2014 hingga bulan Januari 2015, Tim Penertiban berhasil
membongkar kasus-kasus penyalahgunaan trafik-trafik terminasi internasional
(RTTI). Beberapa kasus yang dibongkar adalah kasus RTTI di wilayah Indramayu,
Bogor dan Jakarta. Kasus di Jakarta merupakan yang terbesar di mana pendapatan
pelaku pada bulan Desember dari satu partner saja di luar negeri sebesar U$
25,362 atau setara sekitar Rp 323.347.680,-. Dugaan
pelanggaran yang disangkakan terhadap UU 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi
adalah Pasal 11 ayat (1), Pasal 22 dan Pasal 32 ayat (1) dengan ancaman hukuman
berdasarkan pasal 47, pasal 50 dan pasal 52 berupa penjara maksimal selama 6
tahun dan atau denda paling banyak Rp 600 juta. Tindakan
yang dilakukan oleh tim penertiban salah satunya agar membuat jera para
penyelenggara telekomunikasi illegal yang menggunakan perangkat telekomunikasi
tanpa izin. Hal ini berakibat menyedot dana masyarakat luas dan berimplikasi
timbulnya kerugian negara, misalnya penyelenggara ilegal dimaksud tidak
membayar pajak dan kewajiban membayar BHP Jasa Telekomunikasi, USO, dan biaya
sertifikasi perangkat telekomunikasi (PNBP). Bahwa
tindakan yang dilakukan oleh Tim Penertiban selaku PPNS di lingkungan
Kemkominfo bersama dengan Korwas Polda Metro Jaya merupakan langkah yang tepat
untuk mencegah tindak pidana bidang Telekomunikasi sebagaimana ditegaskan dalam
Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Gugatan Praperadilan
Di
tengah proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Tim Penertiban dimaksud
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang menangani perkara ini
dipraperadilankan oleh tersangka melalui gugatan praperadilan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Timur pada 15 Desember 2015. “Intinya
pemohon tidak setuju terhadap upaya paksa berdasarkan UU Telekomunikasi dan
KUHAP yang dilakukan penyidik kepada tersangka yang antara lain upaya paksa
penggeledahan, penyitaan dan penetapan tersangka,” kata Ismail. Tim
Penertiban lintas Direktorat Jenderal bersama dengan Korwas PPNS Polda Metro
Jaya pada saat ini, dalam menghadapi gugatan itu, sedang mempersiapkan segala
materi jawaban, duplik, kesimpulan maupun alat-alat bukti, saksi dan ahli dalam
persidangan yang pada saat ini masih berjalan. Hal ini
diperlukan agar tindakan penyidikan yang telah dilakukan bersama tersebut tetap
sah di hadapan hukum dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik Hukum Acara Pidana maupun Hukum Telekomunikasi. "Besar
harapan masyarakat kepada hakim yang mengadili perkara ini, agar benar-benar
cermat dan dengan hati nurani sehingga dalam memutuskan gugatan tersebut
mengacu pada peraturan perundang-undangan dan berpihak pada kepentingan negara,
karena tindakan yang dilakukan tersangka dalam kasus ini jelas-jelas merugikan
masyarakat telekomunikasi Indonesia khususnya industri telekomunikasi,"
ujar Ismail.
Source: