Senin, 04 April 2016

Penyalahgunaan Akses dan Transfer Ilegal (Kejahatan Cyber)


            Kian maraknya kejahatan yang terjadi di jaman modern seperti sekarang, tindakan kejahatan juga semakin beragam salah satunya kejahatan di dunia maya atau yang biasa dikenal dengan Cyber Crimes. Aksi kejahatan tersebut harus disikapi dengan cermat untuk meminimalisir kejahatan cyber crime tersebut. Karena pada dasarnya kejahatan ini sangat merugikan dan dapat di kenakan sanksi dan ada berbagai banyak tindak pidana serta pasal pasal yang mengenai kejahatan cyber crimes salah satunya yang sering dilaporkan ialah  mengenai akses ilegal (Pasal 30 UU ITE), perubahan data (Pasal 32 UU ITE), berita bohong yang merugikan konsumen (Pasal 28 ayat (1) UU ITE), serta konten yang melanggar kesusilaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE). Dalam banyak laporan, Pasal 30 UU ITE sering dibarengi dengan Pasal 32 UU ITE, maksudnya pelaku melakukan akses ilegal dan kemudian melakukan perubahan data.


         ada beberapa pencegahan atau pendekatan guna mencegah terjadi kejahatan cyber crimes ini 
Pendekatan Pertama
Dalam mempertahankan keamanan di dunia siber terdapat tiga pendekatan yakni, pertama pendekatan sosial budaya dalam arti memberikan pemahaman dari sudut sosial budaya agar masyarakat memahami secara benar tentang kepudilian akan keamanan informasi khusunya fenomena dalam dunia siber yang bersifat global dan lintas batas (borderless).
Pendekatan Kedua
Pendekatan tata kelola dan teknologi keamanan informasi, yang dalam hal ini pendekatam dilakukan melalui sistem manajemen keamanan informasi serta melalui pendekatan teknologi yang cermat dan akurat serta up to date agar dapat menutupi setiap lubang atau celah yang dapat digunakan untuk melakukan penyerangan-penyeranga dalam dunia siber.
Pendekatan Ketiga
pendekatan hukum yaitu tersedianya instrumen hukum positif nasional yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi seperti UU no.11 Tahun 2008 tentang ITE dan PP No.82 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan sstem dan transaksi Elektronika(PSTE) yang salah satunya adalah kebijakan dan regulasi di bidang keamanan informasi.

Berikut adalah artikel tentang penyalahgunaan telekomunikasi rugikan operator sebesar 1,2Triliun:

Jakarta – Kemkominfo bersama Polda Metro Jaya dan operator telekomunikasi tengah menertibkan terminasi trafik internasional. Penyalahgunaan ini berpotensi menimbulkan kerugian industri telekomunikasi sekitar Rp 1,26 triliun per tahun.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Ismail Cawidu mengatakan, penertiban ini dilakukan Tim Penertiban Direktorat Pengendalian Pos dan Informatika, Direktorat Jenderal Peyelenggaraan Pos dan Informatika, Kemkominfo bersama PPNS Balmon Kelas I Jakarta, PPNS Balmon Kelas II Bandung, Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dan operator telekomunikasi.“Tujuannya adalah menciptakan ketertiban oleh Penyelenggaraan Telekomunikasi, menjamin kepastian hukum dan kepastian berusaha dibidang Telekomunikasi, serta menjamin kualitas telekomunikasi kepada masyarakat,” kata Ismail Cawidu dalam keterangan resminya, Senin (11/1). Definisi Penyalahgunaan Trafik Terminasi Internasional adalah penyaluran trafik dari luar negeri dengan menggunakan jalur dan perangkat tertentu secara tidak sah. Penyalahgunaan ini berpotensi menimbulkan kerugian industri telekomunikasi sekitar Rp 105 miliar per bulan atau Rp 1,26 triliun per tahun. Sejak bulan Desember 2014 hingga bulan Januari 2015, Tim Penertiban berhasil membongkar kasus-kasus penyalahgunaan trafik-trafik terminasi internasional (RTTI). Beberapa kasus yang dibongkar adalah kasus RTTI di wilayah Indramayu, Bogor dan Jakarta. Kasus di Jakarta merupakan yang terbesar di mana pendapatan pelaku pada bulan Desember dari satu partner saja di luar negeri sebesar U$ 25,362 atau setara sekitar Rp 323.347.680,-. Dugaan pelanggaran yang disangkakan terhadap UU 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi adalah Pasal 11 ayat (1), Pasal 22 dan Pasal 32 ayat (1) dengan ancaman hukuman berdasarkan pasal 47, pasal 50 dan pasal 52 berupa penjara maksimal selama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp 600 juta. Tindakan yang dilakukan oleh tim penertiban salah satunya agar membuat jera para penyelenggara telekomunikasi illegal yang menggunakan perangkat telekomunikasi tanpa izin. Hal ini berakibat menyedot dana masyarakat luas dan berimplikasi timbulnya kerugian negara, misalnya penyelenggara ilegal dimaksud tidak membayar pajak dan kewajiban membayar BHP Jasa Telekomunikasi, USO, dan biaya sertifikasi perangkat telekomunikasi (PNBP). Bahwa tindakan yang dilakukan oleh Tim Penertiban selaku PPNS di lingkungan Kemkominfo bersama dengan Korwas Polda Metro Jaya merupakan langkah yang tepat untuk mencegah tindak pidana bidang Telekomunikasi sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Gugatan Praperadilan
Di tengah proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Tim Penertiban dimaksud Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang menangani perkara ini dipraperadilankan oleh tersangka melalui gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 15 Desember 2015. “Intinya pemohon tidak setuju terhadap upaya paksa berdasarkan UU Telekomunikasi dan KUHAP yang dilakukan penyidik kepada tersangka yang antara lain upaya paksa penggeledahan, penyitaan dan penetapan tersangka,” kata Ismail. Tim Penertiban lintas Direktorat Jenderal bersama dengan Korwas PPNS Polda Metro Jaya pada saat ini, dalam menghadapi gugatan itu, sedang mempersiapkan segala materi jawaban, duplik, kesimpulan maupun alat-alat bukti, saksi dan ahli dalam persidangan yang pada saat ini masih berjalan. Hal ini diperlukan agar tindakan penyidikan yang telah dilakukan bersama tersebut tetap sah di hadapan hukum dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik Hukum Acara Pidana maupun Hukum Telekomunikasi. "Besar harapan masyarakat kepada hakim yang mengadili perkara ini, agar benar-benar cermat dan dengan hati nurani sehingga dalam memutuskan gugatan tersebut mengacu pada peraturan perundang-undangan dan berpihak pada kepentingan negara, karena tindakan yang dilakukan tersangka dalam kasus ini jelas-jelas merugikan masyarakat telekomunikasi Indonesia khususnya industri telekomunikasi," ujar Ismail.
Source: