““Kita mendirikan suatu negara
“semua untuk semua”. Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia
yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan
kebangsaan Borneo, Sulawesi, atau lain-lain, tetapi kebangsaan
Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar suatu nationale staat”
(Bung Karno, 1 Juni 1945)
Kebangsaan Indonesia
merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dalam
kesilaman. Dalam ungkapan Clifford Geertz, Indonesia ibarat anggur
tua dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara
baru, old societies, new state. Nama Indonesia sebagai proyek
“nasionalisme politik” (political nationalism) memang baru
diperkenalkan sekitar 1920-an. Akan tetapi, ia tidaklah muncul dari
ruang hampa, melainkan berakar pada tanah air beserta elemen-elemen
sosial-budaya yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya hadir di
Nusantara.
Bangsa (nation) adalah suatu
“konsepsi kultural” tentang suatu komunitas politis yang secara
keseleruhan dibayangkan sebagai kerabat yang bersifat terbatas dan
berdaulat. Bayangan tentang komunitas politis bersama ini bisa timbul
karena kebersamaan historis, kesamaan mitos, dan kenangan sejarah,
berbagai budaya publik massa dan ekonomi bersama, kesamaan hak-hak
legal dan kewajiban bagi semua anggota komunitas tersebut. Dalam
komunitas politik dewasa ini, batas bayangan komunitas itu secara
politik menjelma dalam bentuk negara-bangsa. Sedangkan yang dimaksud
dengan negara (state) adalah suatu konsepsi politik yang berdaulat,
yang tumbuh berdasarkan kesepakatan atau kontrak sosial yang
meletakkan individu ke dalam kerangka kewarganegaraan (citizenship).
Dalam kerangka ini, individu dipertautkan kepada satu unit politik
(negara) dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum. Dengan kata
lain, bangsa beroperasi atas prinsip hukum dan keadilan.
Sebagai nasionalisme politik,
Mohammad Hatta pernah berkata, “Bagi kami, Indonesia menyatakan
satu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan
suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang
Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.
Indonesia termasuk sebagai negara muda. Negara muda dan atau negara
yang baru lahir biasanya tidak selalu memiliki rasa nasionalisme yang
kuat. Rasa nasionalisme merupakan sebuah proses yang harus
ditumbuhkembangkan. Sebuah negara yang baru merdeka biasanya memiliki
persoalan perpecahan antar etnik (suku), ras, agama, ancaman
separatisme serta kerusuhan-kerusuhan lainnya.
Dalam sejarahnya,
Indonesia memiliki banyak contoh tentang separatisme. Misalnya saja:
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, PRRI-Permesta, Gerakan Aceh
Merdeka, Separatisme di Papua Barat. Indonesia pun memiliki contoh
tentang perpecahan dan kerusuhan antar etnik dan agama . Contohnya:
konflik Islam-Kristen di Ambon dan konflik etnik Dayak-Madura di
Kalimantan.
Sila ketiga
- Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
- Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
- Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
- Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
- Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
- Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila#Sila_ketiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar